JAKARTA, RABU- Kebebasan pers yang dinikmati media massa dalam era reformasi saat ini cenderung sudah kebablasan. Fenomena tersebut tak boleh dibiarkan berlarut-larut, tapi harus segera dicegah agar tidak terlalu kebablasan. Dengan alasan utamanya, bagaimanapun juga kondisi yang 'tak sehat' itu cepat atau lambat diyakini akan mencoreng profesionalisme di kalangan pers.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI) Dr Effendi Gazali menilai, seiring dengan bergulirnya arus reformasi, tidak sedikit pemilik modal, baik yang paham betul mengenai dunia pers maupun yang tidak, ramai-ramai dan termotivasi untuk mendirikan perusahaan media .
"Celakanya, sebagian pemilik modal dengan menggunakan dalih untuk kepentingan tertentu kemudian "bermain-main" dengan memanfaatkan medianya," kata Effendi Gazali yang juga pegasuh Republik Mimpi ini dalam diskusi bertajuk "Kebebasan Pers dan Implikasinya" oleh Forum Kagama Muda, Rabu Rabu (26/3).
Doktor yang dalam tayangan Republik Mimpi sering dipanggil "Dik Pendi" ini beranggapan, para pemilik modal enggan menyediakan dana untuk pendidikan dan pelatihan bagi wartawan secara memadai. Akibatnya, banyak wartawan yang memberitakan suatu peristiwa atau isu dengan tidak akurat.
"Saya kadang enggan menjawab pertanyaan wartawan lewat telepon, karena seringkali apa yang dibicarakan berbeda dengan apa yang diberitakan. Apa yang saya katakan, kemudian dikutip, jadinya bukan kalimat saya. Karena itu pendidikan dan pelatihan bagi wartawan sangat diperlukan agar wartawan menjadi profesional," ungkapnya.
Dalam diskusi itu hadir pula, Dr Tjipta Lesmana, pakar komunikasi UI,
Dr Rudy Satriyo (pakar hukum pidana UI), serta Dr Wahyu Wibowo (pakar komunikasi sekaligus dosen Universitas Nasional).
Salah seorang pengacara senior, Amir Syamsuddin yang ikut dalam diskusi itu kemudian mengungkapkan, kini, ada beberapa wartawan yang bekerja secara tidak profesional. Dikatakan, tidak sedikit orang yang kemudian mengklaim dirinya sebagai jurnalis dan menerbitkan pers.
"Mereka ini muncul sedemikian rupa tanpa dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai sehingga turut merusak profesionalisme pers. Padahal, seorang jurnalis atau wartawan adalah seorang profesional. Mereka melakukan terapi sosial dan melakukan kontrol sosial," papar Amir.
Effendi Gazali kemudian memberikan solusinya. Dijelaskan, untuk mengeliminir pemberitaan tendensius yang bisa merugikan kepentingan publik, salah satun jalan adalah dengan membentuk Dewan Pers yang kuat, serta memiliki integritas yang solid.
"Dengan begitu, kalau suatu ketika ada perusahaan-perusahaan yang menjadi 'korban' perlakuan pers yang tak fair dan mengadu ke institusi ini, mereka bisa menerima keputusan Dewan Pers," katanya.
"Saya ingin mengatakan, akurasi, (dan) akurasi, adalah hal yang paling terpenting. Ini menjadi persoalan serius bagi individu wartawan kita. Dari berbagai riset selama ini, kesejahteraan wartawan memang belum mengembirakan. Akan menjadi persoalan serius dan sulit sekali kita berbicara kebebasan, kalau masalah akurasi tidak dilakukan," kata Effendi Gazali lagi. (persda network/yat)
--
Tribun Timur,
Surat Kabar Terbesar di Makassar
www.tribun-timur.com
FORUM DISKUSI PEMBACA TRIBUN TIMUR
tribun.freeforums.org
Usefull Links:
jurnalisme-makassar.blogspot.com
jurnalisme-tv.blogspot.com
jurnalisme-radio.blogspot.com
jurnalisme-blog.blogspot.com
makassar-updating.blogspot.com
makassar-bugis.blogspot.com
No comments:
Post a Comment